Lidah adalah altar sebuah lapangan di dalam kebaikan dan keburukan.Orang yang melepaskannya serta tidak menjaganya dengan kendali ajaran syari’at akan digiring oleh syetan menuju jalan-jalan kebinasaan lalu dijerumuskan ke dalam Neraka.Kesempurnaan adalah menahan diri secara mutlak dari ucapan-ucapan sampah dan tidak berbicara atau mengeluarkan ucapan selain untuk kebaikan.
Bahaya yang ditimbulkan oleh lisan amatlah besar karena lidah itu tiada bertulang sehingga kadang sangat sulit dikendalikan.Amatlah banyak manusia di zaman kita sekarang ini yang terkena musibah lisan yang sudah merupakan bumbu dan santapan bagi majlis-majlis mereka.Berbicara dusta, main gosip,ghibah,debat kusir,memperbincangkan kebatilan,bertengkar,membangga-banggakan diri,menyindir orang,mencaci maki, membongkar rahasia orang,mengobral ucapan-ucapan rendahan dan lain sebagainya.
Orang yang sudah terbiasa dengan kemaksiatan lidah maka biasanya akan dengan mudah dan cepat melontarkan kata-kata yang tidak baik tanpa memikirkan dan menyeleksi terlebih dahulu.Padahal dalam sebuah hadits shahih Nabi saw telah mengabarkan kepada kita bahwa ada orang yang masuk Neraka hanya akibat ulah lisannya.Beliau bersabda:
“Dan ada orang-orang yang dipanggang wajahnya atau lehernya (perawi ragu) diatas api Neraka, tidak lain hanya karena hasil dari perbuatan lisannya.”
Oleh karena itu kita harus mengekangnya dengan kekang ajaran syari’at sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah berkata yang baik atau diam.”
Maka selayaknya bagi kita untuk menjaga lisan, sebab jika malapetaka lisan sebagaimana yang telah disebutkan di atas sudah menjadi urat nadi dan kebiasaan seorang hamba, akan sulit baginya untuk menahan diri dari perbuatan itu kecuali bagi orang yang dirahmati Allah.
Dan kita akan meningkatkan kewaspadaan manakala menyadari bahwa bahaya lidah ini justeru terkadang terasa manis dan mengasyikkan, ditambah adanya kecenderungan hawa nafsu manusia yang sering mendorong ke arah kemungkaran lidah tersebut.Kita memohon kepada Allah semoga menyelamatkan kita dari bahaya ini.
Ada diantara manusia yang mampu bersikap begitu wara’ dan zuhud, tidak sudi mengenakan sutera, tidak mau duduk diatas permadani, tidak minum dengan gelas-gelas mewah dan menahan dari kesenangan duniawi, namun tidak mampu menahan diri dari sembarangan berbicara termasuk yang tergolong dosa besar,seperti ghibah(menggunjing), namimah (adu domba), membongkar aib orang dan lain-lain.Demikian pula halnya membicarakan ayat-ayat al-Qur’an atau hadits Nabi dengan menafsirkan semaunya tanpa dilandasi ilmu.
Dalam pembahasan ini akan kami ketengahkan tiga kemaksiatan lisan secara lebih khusus lagi yaitu ghibah, namimah dan mencela orang yang telah meninggal, mengingat banyak kita jumpai orang yang terjerumus didalamnya, semoga Allah swt melindungi kita dari perbuatan-perbuatan tersebut.yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Maka secara lebih tegas lagi Rasulullah ketika ditanya tentang muslim yang paling utama beliau menjawab dengan sabdanya yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim yaitu manakala saudaranya sesama muslim selamat dari ulah lisan dan tangannya maka dialah muslim yang paling utama.
“Yaitu orang tidak pernah berbuat jahat kepada sesama muslim dengan lisan dan tangannya.”
Dari keumuman larangan ghibah ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan, itupun karena pada hakekatnya ia bukan ghibah walau secara lahirnya memang menyabutkan kejelekan orang lain.Ghibah-ghibah tersebut semata-mata untuk tujuan baik atau karena didorong oleh keadaan yang memaksa harus mengutarakan hal tersebut.
Diantara ghibah yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:
-Untuk mengadukan penganiayaan orang ke hadapan hakim.
-Minta tolong kepada seseorang untuk menasehati orang yang berbuat kemungkaran.
-Dalam rangka minta fatwa agar dapat bersikap secara baik dan benar terhadap keburukan orang lain.
-Bertujuan menasehati orang agar jangan sampai ikut melakukan kejahatan yang pernah dilakukan oleh seseorang.
-Terhadap orang yang melakukan kejahatan dengan terang-terangan maka menyebutkannya bukan masuk kategori ghibah.
-Menyebut sifat atau julukan tertentu agar orang mengenal atau tahu orang yang dimaksudkan, misalnya si fulan yang buta, bisu,tuli.Terkadang gelar tersebut dipakai untuk orang yang terkenal dan ada diantaranya yang ahli dalam hadits seperti al-A’masy.
Selain diancam dengan jaminan masuk Neraka pelaku namimah juga mendapatkan tambahan siksa berupa adzab kubur (sebelum akhirnya disiksa di Neraka), sebagaimana di dalam hadits dari Ibnu Abbas ra bahwa suatu ketika Rasulullah melewati dua kubur yang kedua penghuninya sedang disiksa,beliau menjelaskan bahwa kedua orang teersebut disiksa hanya gara-gara sesuatu yang (mungkin) dianggap sepele. Beliau bersabda, “Adapun salah satunya maka dia disiksa dengan sebab biasa mengadu domba, sementara yang lainnya karena tidak menjaga dari (percikan) air kencingnya.”
Mencaci Orang yang Telah Mati.
Dari Aisyah Radhiallaahu anhu ,Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda,
“Janganlah kalian mencaci maki orang yang telah mati, karena mereka telah berangkat untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.” (HR. Ahmad,al-Bukhari dan an-Nasai).
Dalam riwayat lain oleh Ibnu Abbas beliau juga bersabda,
“Janganlah kalian mencaci maki orang yang telah mati diantara kita, karena hal itu akan membuat sakit (menyinggung) yang masih hidup.”
Dan sebaliknya Allah akan memberi ampunan kepada siapa saja yang mengetahui aib seorang mayit lalu menyembunyikannya.Aslam Abu Rafi bekas budak Nabi saw meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa memandikan mayit lalu ia menyembunyikan aibnya, maka Allah akan memberikan ampunan kepadanya sebanyak empat puluh kali.” (riwayat al-Hakim, dengan mangatakan shahih berdasar persyaratan Muslim)
Untuk lebih menegaskan masalah ini alangkah baiknya jika kita perhatikan ucapan Ibnu as-Samak seorang ulama kenamaan di masanya,beliau menegaskan, ”Selayaknya engkau tidak mengomentari (mencaci) saudaramu yang telah mati karena tiga alasan: Pertama, bisa jadi engkau menyangkanya berbuat sesuatu (keburukan) yang ternyata sama buruknya dengan yang engkau lakukan.
Kedua, bisa jadi engkau mengejeknya padahal ia telah memberikan kebaikan kepadamu (dengan mencaci atau mengejek, karena orang yang mencaci orang lain pada hakekatnya memberikan kebaikan kepada yang dicaci, red).Imam Abu Dawud di dalam Kitabul Adab dan Imam at-Tirmidzi di dalam Kitabul Janaiz menyebutkan hadits dari Mu’wiyah bin Hisyam, dari Imran bin Anas al Makki, dari Atha’ bin Umar ra secara marfu’ Nabi saw bersabda, “Sebutlah kebaikan-kebaikan orang yang telah mati diantara kalian dan tahanlah lidahmu dari menyebutkan kejelekan-kejelekannya.”
Ketiga, jika ternyata mayit yang dicaci ternyata ahli Surga maka engkau telah berdosa.Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunya dengan sanadnya sendiri,
“Janganlah kalian menyebut-nyebut orang yang telah mati diantara kalian selain kebaikannya.Karena kalau ia ahli Surga maka engkau telah berbuat dosa, dan kalau ia ahli Neraka maka cukup bagi mereka apa yang mereka peroleh.”
0 komentar:
Posting Komentar