Syari’at secara bahasa adalah syara’ ‘a-yasrou, sedangkan menurut syara’ adalah memberikan jalan kepada mereka atau menjelaskan jalan-jalannya, jadi Syari’at adalah aturan-aturan atau undang-undang (sesuatu yang telah dibuat undang-undang) oleh Allah buat hamba-Nya, baik berupa peraturan atau hukum.
Menurut Mahmud Shaltout, Syariat ialah nama yang diberikan kepada dasar-dasar dan hukum-hukum yang diwahyukan Allah, yang diwajibkan kepada umat islam untuk dipatuhi dengan sebaik-baiknya, baik dalam hubungannya dengan Allah, maupun dengan sesama manusia.
Dengan kata lain syari’at bisa diartikan peraturan-peraturan yang mencakup, termasuk didalamnya soal-soal wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. Jadi hukum syara’ adalah berhubungan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan agama. Termasuk dalam syari’at adalah segala amalan-amalan dhohir (lahir) seperti sembahyang, puasa, zakat, haji, jihad fi sabilillah, juga hukum-hukum dalam bidang ekonomi, social, politik, dan lain-lain.
Syeh Zaenuddin bin Ali dalam kitabnya “Hidayatul Adzkiya’ ila Thoriiqil Auliya’ ” telah bersyair :
فشريعة احذ بدين الخا لق # وقيامه بالامر والنهي انجلى
Syari’at adalah berpegang pada agama Allah khaliqul alam dan menjalankan perintah-Nya serta meninggalkan larangan-Nya
Sebelum bait ini beliau menggambarkan syari’at dalam hubungannya dengan haqiqat untuk mencapai tujuan adalah bagaikan perahu. Dimana orang bisa mencapai haqiqat yang oleh beliau diumpamakan dengan intan, adalah dengan memakai perahu. Jadi syari’at ini adalah salah satu jalan untuk menuju haqiqat yang harus diindahkan dan dijalankan.
Syari’at ini bagi kaum mutashowwifin tidak bisa ditinggalkan. Syari’at adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan bahkan merupakan hal yamg pokok bagi yang lain. Antara syari’at dengan haqiqat adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan bagi orang yang hidup bertasawwuf, satu sama lain saling berpautan; karena itulah kaum mutashowwifin berkata:
ان الحقيقة بلا شريعة باطلة والشذيعة بلا حقيقة عاطلة
“Sesungguhnya haqiqat tanpa syari’at adalah batal dan syari’at tanpa haqiqat adalah tak berarti”
Berdasarkan uraian tersebut maka bisa diambil ketetapan sebagai berikut:
a. Syari’at adalah salah satu unsur yang harus dilaksanakan dalam hidup bertasawuf
b. Syari’at dan haqiqat adalah saling berhubungan erat dan saling isi mengisi
c. Barang siapa yang meninggalkan syari’at dalam bertasawuf dengan alasan apa saja, maka bukan saja setidak shalihan, tetapi malah adalah kekafiran.
( Permadi, 1997: 50 )
TARIQAT
Pengertian Tariqat
Istilah Tariqat berasal dari kata At-Tariq (jalan) menuju kepada hakikat, atau dengan kata lain pengalaman syari’at, yang disebut “Al-Jara” atau “Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
الطريقة هي العمل بالشريعة والاخذ بعزا ئمها والبعد عن التسا هل فيما لا ينبغى التسا هل فيه
Artinya:
“Tariqat adalah pengalaman syari’at, melaksanaka beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah”.
الطريقة هي اجتناب المنهيات ظا هرا وباطنا وامتثال الاوامرالالهية بقد رالطاقة
Artinya:
“Tariqat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya, baik larangan dan perintah yang nyata maupun yang tidak (batil)”.
الطريقة هي اجتناب المحرمات والمكروهات وفضول المباحات واداءالفرائض فما استطاع من النوافل تحت رعاية عارف من اهل النهاية
Artinya:
“Tariqat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) faidah, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunnatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) dibawah bimbingan seorang arif (Syekh) dari (Sufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.”
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan Tasawuf di beberapa Negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarikat mempunyai dua macam pengertian.
Tarikat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamat” dan “Al-Ahwal”. Pengertian yang seperti ini, menonjol sekitar abad ke-IX dan ke-X Masehi.
Tarikat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut aturan yang telah dibuat oleh seseorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarikat yang mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarikat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya. Pengertian yang seperti ini, menonjol sesudah abad ke-IX Masehi.
Dari pengertian dan definisi diatas, maka Tarikat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seseorang, maupun secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamat” dan “Al-Ahwal”.
Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Tingkatan Taubat (At-Taubah)
b. Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang subhat (Al-Wara’)
c. Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (Az-Zuhdu)
d. Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru)
e. Tingkatan sabar (As-Sabru)
f. Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul)
g. Tingkatan kerelaan (Ar-Rida)
2. Istilah Tariqat
Ada beberapa istilah “tariqat”, antara lain:
a. Syari’at
Kata “syari’at” berarti perjalanan atau peraturan. Maksudnya, para ahli tarikat berpendapat berupa amalan-amalan lahir. Semisal shalat, puasa dan lain sebagainya.
b. Hakikat
Kata “hakikat” berarti puncak atau kesudahan sesuatu atau asal sesuatu. Arti lain adalah sebagai kebalikan dari sesudah yang tidak sebenarnya (arti kiasan). Namun di dalam istilah tarikat berarti sebagai kebalikan syariat yakni yang menyangkut batin.
c. Ma’rifat
“Ma’rifat” berarti pengetahuan atau pengalaman. Menurut istilah, “ma’rifat” ialah pengetahuan dalam mengerjakan syari’at dan hakikat. Para ahli Tarikat berpendapat bahwa ma’rifat adalah sifat sufi yang dapat bertingkat-tingkat. Dari tingkat talib, murid, salik, dan wasila. Jadi kalau ia disebut ahli ma’rifat apabila telah berada ke hadirat Ilahi
d. Tarikat
Kata “tarikat” berarti jalan. Menurut istilah, Tarikat ialah jalan atau cara yang ditempuh menuju keridaan Allah.
e. Suluk
Kata “suluk” berarti menempuh perjalanan. Kata suluk berasal dari kata “salaka”. Dalam istilah tasawuf, “suluk” adalah ikhtiar (usaha) dalam menempuh jalan untuk mencapai tujuan tarikat. Orang yang menjalankan ikhtiar disebut “salik”.
f. Manazil
Artinya tempat-tempat perhatian yang dilalui salik yang melakukan “suluk”
MasyahidØ Ialah hal-hal yang terlihat pada perjalanan ditengah sedang melakukan suluk
MaqamatØ Ialah derajat-derajat yang diperoleh dalam usaha sendiri.
KasbiyahØ Ialah derajat-derajat yang diperoleh semata-mata dengan anugerah Allah yang disebut “al-ahwal” atau “mauhibiyah”
Istilah-istilah diatas disebut tempat bagian ketika memasuki tasawuf
g. Zawiyah
Adalah merupakan suatu ruang tempat mendidik calon-calon sufi. Disebut juga tempat latihan tarikat yang dilengkapi dengan mihrab untuk salat. Wujud zawiyah besar adalah asrama atau madrasah
h. Illa zikr naïf isbat
Kalimat “La ilaha illallah” mengandung dua kata, pertama kata “La” dan kedua “Illa”. Dan dua kata pula yang menetapkan yaitu “Ilaha” dan Allah”.
Dalam hal tersebut diatas ahli tarikat memberi tiga tingkatan pengertian, yaitu:
Tiada Tuhan melainkan Allah
Tiada ma’bud melainkan Allah
Tiada maujud melainkan Allah
i. As-Sukr
As-Syukru maksudnya sebagai salah satu sikap dalam ibadah dan khalwat. Sehingga orang itu tidak sadar lagi akan dirinya.
Al-Fana
Al-Fana merupakan suatu tingkatan/golongan salik, yang menurut mereka dapat terlihat diwaktu ia terpengaruh oleh perasaannya waktu menalankan ibadah, maksud lain adalah lupa segala sesuatu ketika beribadah kecuali yang disembahnya.
j. Uslah
Uslah adalah salah satu praktek suluk dengan mengasingkan diri dari khalayak ramai yang berbuat maksiat.
Khalwat
Khalwat sebagai satu rangkaian dalam suluk dengan jalan menyendiri ditempat yang sunyi atau bertapa.
k. Kasyaf
Artinya terbukanya dinding antara hamba dengan Tuhan dalam tarikat. Empat dinding pembatas antara Khalik dengan mahluk menurut ahli tarikat yaitu:
Najis dan hadas
Haram dan makruh
Akhlaq yang tercela
Kelalaian terhadap Tuhan karena pengaruh dunia
l. Silsilah
Artinya nisbah (hubungan) guru-guru tarikat yang sambung bersambung dari bawah ke atas yang perlu diketahui oleh pengikut-pengikut tarikat
Khirqah
Ialah semacam ijazah yang diberikan kepada murid setelah mencapai suatu tahap dalam pengetahuan. Lebih lanjut dalam pemberian “khirqah” bersama dengan “wasiat” yaitu amanah atau pesan-pesan penting dan khusus dari guru kepada murid.
m. Wali
Wali adalah seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian yang tinggi setelah melalui suluk. Dia mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu sebagai bukti kewaliannya.
Keramat
Adapun yang dimaksud dengan keramat adalah keistimewaan yang dimiliki seorang wali.
3. Tokoh-Tokoh Tarikat Di Dunia Islam Maupun Indonesia
Ada beberapa peristilahan yang sering dijumpai dalam Tarikat yang bersifat perkumpulan, misalnya:
a. Syekh atau Mursyid, adalah guru tarikat
b. Khalifah adalah wakil Syekh atau Mursyid
c. Murid adalah pengikut aliran suatu tarikat
d. Baiat adalah perjanjian atau sumpah setia murid kepada gurunya, ketika ia memasuki perkumpulan Tarikat.
e. Wasilah atau Rabitah adalah perantara guru (Syekh) dengan muridnya, sehingga setiap amalan gurunya selalu
dijadikan wasilah oleh murid-muridnya.
f. Suluk adalah mengamalkan ajaran-ajaran yang telah diterima dari guru, sebagai sarana latihan jiwa untuk
mencapai suatu maqam dalam tariqat.
g. Ijazah adalah sebuah pengakuan guru kepada muridnya, berupa keterangan tertulis yang dibubuhi tandatangan,
silsilah tarikat dan simbol-simbol lain; misalnya pemberian sepotong kain yang disebut “Khiqatut Tabarruk”.
Macam-macam tarikat beserta pendirinya
• Tatikat Qadiriyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Abdul Qadir Jailani sebagai pendirinya
• Tarikat Rifa’iyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Ahmad Rifa’i
• Tarikat Maulawiyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Maulana Jalaluddin Ar-Rumi.
• Tarikat Syaziliyah, yang dinisbatkaan kepada Asy-Syekh Abdul Hasan Ali bin Abdil jabbar Asy-Syazali.
• Tarikat Badawiyah yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Ahmad al-Badawi
• Tarikat As-Suhrawardiyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Umar As-Suhrawardi;
• Narikat Naqsyabandiyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syhalah Bahauddin Muhammad bin
Hasan An-Naqsabandi;
• Tarikat Syatariyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Abdullah Asy-Syattari;
• Tarikat Khalwatyh yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Abdul Barakat Ayyub bin Muhammad Al-Khalwati Al-Qursisyi. (Mustafa, 1997: 280)
3. HAQIQAT
1. Pengertian Haqiqat
Haqiqat adalah keadaan salik sampai pada tujuan yaitu ma’rifatullah dan musyhadati nurit tajalli (melihat nur yang nyata).
Imam Ghazali menerangkan, bahwa tajalli itu ialah terbukanya nur cahaya yang gaib bagi hati seseorang. Sangat mungkin bahwa yang dimaksudkan dengan tajalli disini ialah yang mutajalli, yaitu: Allah ta’ala.
Lain dari pada itu, sebagian ulama tasawuf mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan hakikat adalah segala macam penjelasan mengenai kebenaran sesuatu seperti syuhud asma’ dan shiffaat demikian juga syuhud zat dan memahami rahasia-rahasia Al-Qur’an dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam cegahan dan kebolehan. Disamping itu juga memahami ilmu-ilmu ghaib yang tidak diperoleh dari seorang guru.
2. Pembagian Haqiqat
Prof.Dr.H. Abu Bakar Aceh mengatakan bahwa hakikat ada 3 yaitu:
Haqiqat Tasawuf
Haqiqat tasawwuf ini diutamakan untuk membicarakan usaha-usaha memutuskan syahwat dan meninggalkan dunia dengan segala keindahannya serta menarik diri dari kebiasaan-kebiasaan duniawi.
Haqiqat Ma’rifat
Yaitu mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dengan bersungguh-sungguh dalam segala pekerjaan dan ahwalnya
Haqiqatul Haqoiq
Disebut juga dengan nama hadratul jama’ atau hadratul wujud. Haqiqat ini merupakan puncak segala haqiqat. Ia termsuk martabat ahadiyah, penghimpun dari semua haqiqat. (Permadi, 1997: 54)
3. Beberapa Kalimat Yang Termasuk Dalam lingkungan Thariqat
I. Ikhlas, yaitu yang suci murni. Ibarat emas tulen, tidak tercampur dengan logam lain.
II. Muraqabah, artinya senantiasa mengintip dan mengintai dari dekat, apa-apa yang harus dilakukan untuk menuju Tuhan.
III. Muhasabah, artinya memperhitungkan keadaan diri sendiri , supaya mendapatkan kelayakan menjadi murid (penuntut). Dihitunng apa kelalaian, apa kekurangan. Sehingga dengan demikian bertambah naiklah diri itu dari satu tingkat ke lain tingkat yang lebih tinggi. Menempuh tingkat itu disebut maqamat.
IV. Tajarrud, artinya melepaskan segala ikatan apa pun juga yang akan merintangi diri dalam menuju jalan itu. Misalnya kemegahan, hawa nafsu dunia, pangkat, dan kedudukan.
V. ‘Isyq, Artinya rindu. Maka mahluk didunia ‘Asyiq. Dan Khaliq dinamainya Ma’syuq.
VI. Hubb, artinya cinta.
Karena rasa cinta dan rindulah yang mendorong manusia melangkah dan menarik, laksana laksana tarikan besi-berani, supaya lebih dekat diantara ‘Asyiq dengan Ma’syuqnya, Dan dengan Hubb atau ‘isyq itulah seluruh alam ini dijadikan dan diciptakan.
(Hamka, 1986: 111)
4. MA’RIFAT
1. Pengertian
Istilah ma’rifah berasal dari kata “Al-Ma’rifah”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah ma’rifah disini berarti mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf, antara lain:
a. Dr, Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan
المعرفة جزم القلب بوجودالواجب الموجود متصفا بسائرالكلمات
Artinya:
“Ma’rifah artinya ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya”.
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-kadiriy mengemukakan pendapat Abuth thayyib As-Samiriy yang mengatakan:
المعرفة طلوع الحق, وهو القلب بمواصلة الانوار
Artinya:
“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakn pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
المعرفة يوجب السكينة فى القلب كما ان العلم يوجب السكون, فمن ازدادت معرفته ازدادت سكينته
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).
(Mustafa, 1997: 251)
Ma’rifat adalah tingkat penyerahan diri kepada Allah secara tingkat demi setingkat sehingga sampai kepada tingkat keyakinan yang kuat. Orang yang memiliki ilmu Ma’rifat dianggap sebagai orang yang “arif”, karena ia bisa memikirkan dalam-dalam tentang segala macam liku-liku kehidupan di dunia ini, oleh karena itu jika kita bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu ma’rifat, maka akan meraih suatu karomah.
Karomah adalah keistimewaan yang tidak dimiliki orang awam. Bentuk karomah tersebut adalah mata hati kita menjadi awas dan indra ke enam kita jadi tajam. Kita akan dapat mengetahui sesuatu yang tersembunyi dibalik peristiwa, orang yang mata hatinya dan indra ke enamnya tajam, maka ia dapat masuk ke dalam hal-hal yang dianggap gaib (tersembunyi). Orang yang arif (memiliki ilmu ma’rifat), suka memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah dengan mata kepalanya, kemudian ia merenungkan dengan mata hatinya.
Orang ma’rifat jika melakukan sesuatu atau memutuskan sesuatu menggunakan nuraninya dari pada hawa nafsu yang mempengaruhi dirinya atau nuraninya yang berkata. Oleh karena itu, orang yang sudah menduduki tingkat ini, selalu tajam indra keenammya. (http, Cinta Ma’rifat: 09.30)
Dalam bukunya Mustafa dikatakan bahwa Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu sufi yang sudah mendapatkan tingkatan ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu. Adapunnya yaitu:
a. Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan perilakunya, karena itu sikap wara’ selalu
ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang
nyata menurut ajaran tasawuf belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada
perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkat kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.
2. Jalan Ma’rifat
Kaum Sufi untuk mendapatkan suatu ma’rifat melalui jalan yang ditempuh dengan mempergunakan suatu alat diantaranya: Sir ( السر )
Menurut Al-Qusyairi ada tiga yaitu:
1. Qalb ( القلب ) fungsinya untuk dapat mengetahui sifat tuhan.
2. Ruh ( الروح ) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3. Sir ( السر ) fungsinya untuk melihat Tuhan.
Kedudukan Sir lebih dari ruh dan qalb. Dan ruh lebih halus dari qalb. Qalb di samping sebagai alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan ‘aql ialah kalau ‘aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang hakikat Tuhan, tetapi Qolb dapat mengetahui hakikat dari segala yang ada dan manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Posisi sir ( السر ) bertempat di dalam ruh. Dan ruh ( الروح ) sendiri berada di dalam qalb. Sir akan dapat menerima pantulan cahaya dari Allah apabila qalb dan ruh benar-benar suci, kosong dan tidak berisi suatu apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan menurunkan cahaya-Nya kepada mereka (Sufi). (Mustafa, 1997: 251)
4. Tokoh Ma’rifah
Salah satu tokoh dalam Ma’rifah yaitu Al-Ghazali. Al-Ghazali mengakhiri masa petualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan itu adalah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci Mekkah dan Madinah.
Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. dan timbullah pikiran yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan datanglah panggilan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri Fakhrul Mulk, putra dari Nizam ul Mulk almarhum, telah memintanya supaya segera pulang ke Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang ditinggalkannya.
Al Ghazali memangku jabatan presiden Universitas, dan memberikan kuliah dengan gembira sekali. Kesaksian baru yang dibawanya bahwa paham sufi adalah prinsip yang sejati dan paling baik. Disebarkannya kepada segenap mahasiswanya.
Menurut Al-Ghazali, Ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan yaitu (A’rif) tidak akan mengatakan “Ya Allah” atau “Ya Rabbi”. Karena memanggil Tuhan dengan kata-kata seperti itu menyatakan, bahwa Tuhan ada di belakang tabir, Ma’rifah menurut Al-Ghazali juga memandang kepada wajah Allah SWT.
Sedangkan Ma’rifah dan mahabbah menurut Al-Ghazali adalah tingkatan tinggi bagi seorang sufi. Dan pengetahuan ma’rifah lebih baik kualitasnya dari pengetahuan akal. (Mustafa, 1997: 256)
0 komentar:
Posting Komentar